Setiap tahun, tingkat kecurangan siswa saat menghadapi Ujian Nasional (UN) dinilai semakin mengkhawatirkan. Dulu, menyontek bukannya tak ada saat UN atau ujian di sekolah, tapi kasusnya dinilai masih rendah.
“Harus diakui, dulu memang menyontek ada. Tapi tidak parah. Tiap tahun makin ke sini, ternyata makin mengkhawatirkan. Cara siswa menyontek pun jadi lebih variatif,” kata Salmon Batuallo, kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Wilayah Kalimantan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), di Balikpapan, Kamis (14/4). Kehadirannya di Kota Minyak hari itu untuk menggelar dialog budaya dengan tajuk Peran Kebudayaan dalam Membangun Karakter Bangsa di Kaltim.
Pandanganannya itu pun disampaikan untuk mengingatkan lagi, agar pada pelaksanaan UN yang jatuh pada 18 April untuk SMA sederajat, para siswa bisa lebih berlaku adil.
UN tingkat SMA dan sederajat yang digelar Senin pekan depan itu akan diikuti 2.442.599 siswa dari 25.656 sekolah di Indonesia. Pengumuman kelulusan pada 16 Mei 2011.
Tahun ini, porsi penilaian akan mengikutkan nilai ujian sekolah. Rinciannya, nilai UN 60 persen, nilai sekolah 40 persen.
Salmon menjelaskan, saat ini karakter bangsa memang sudah terkikis. Buktinya, kata dia, banyak tindakan-tindakan –khususnya dilakukan generasi muda- yang tak menggambarkan karakteristik bangsa Indonesia. Padahal, zaman dulu, karakter yang dibangun oleh pendahulu memiliki nilai kemurnian, ketulusan hati, dan niat suci. “Tindakan menyontek saat ujian itu sudah tak sesuai dengan karakter kita. Tak hanya itu, zaman sekarang karakter Indonesia yang dulu mulai hilang. Terjadi seks bebas, pelajar menggunakan narkoba, menyontek, hingga tawuran,” terangnya.
Menurutnya, pelajar yang menyontek menunjukkan bahwa ingin cari mudah, tak inovatif, dan tak punya usaha positif. Karena itu, di sini dibutuhkan guru-guru yang punya karakter mendidik, untuk menanamkan karakteristik bangsa yang punya nilai luhur. “Sudah dikenal, karakter bangsa kita ini adalah kebersamaan, gotong royong, saling menghargai, dan sopan santun,” tuturnya.
Kecurangan saat ujian, tambah dia, tak serta merta langsung menyalahkan siswa. Kondisi ini, tentu juga dipicu faktor eksternal. Misalnya, tentang kecurangan yang dilakukan orang dewasa, seperti adanya pemimpin yang korup. “Siswa akhirnya mulai dengan cara mereka sendiri, karena ada tindakan negatif yang ditiru,” tuturnya.
Faktor yang juga ikut memengaruhi, yakni kurikulum yang memberikan ketentuan bahwa siswa harus mencapai target nilai sekian untuk lulus. Akhirnya, ada yang melakukan langkah curang untuk mencapai itu. Padahal, jelas dia, sebenarnya target-target seperti itu bertujuan positif, yakni memotivasi siswa untuk terus belajar.
Kemajuan teknologi juga ambil peranan. Karena, teknologi sebenarnya menyajikan dua sisi yang berlawanan; negatif dan positif. Sayangnya, bagi pelajar dan generasi muda, hal negatif dari teklonologi dan kemajuan informasi justru lebih menonjol.
Di tempat sama, saat memberi paparan, Sutaji, staf pengajar pascasarjan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda mengatakan, sejarah Indonesia sebenarnya sudah berisi penjelasan peristiwa yang isinya pesan-pesan moral untuk masa depan bangsa.
Pesan-pesan masa lalu yang mampu mendidik generasi akan datang untuk lebih memiliki karakteristik sebagai bangsa yang besar. “Kita ini bangsa yang berkarakter. Pengaruh buruk, umumnya datang secara natural, bisa juga karena faktor eksternal. Itu tentu bisa diubah,” katanya.
Lima Paket Soal Bikin Susah Nyontek
Para siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional (UN) pada April mendatang mengeluhkan aturan tentang lima paket soal UN tahun ini. Lima paket soal merupakan aturan baru tentang lima paket soal pada satu mata pelajaran yang sama yang akan dibagi secara acak berdasarkan nomor kursi atau nomor peserta UN.
"Lima paket soal itu misalnya A, B, C, D, dan E, dibagi secara acak berdasarkan nomor kursi atau nomor ujian", kata Leonardus Aryo, siswa SMAN 24 kepada Kompas.com, Senin (28/3/2011).
Para siswa mengatakan, lima paket soal tersebut sangat memberatkan mereka. Buat mereka, hal itu merupakan kendala yang paling terasa dalam menghadapi UN nanti.
"Dengan banyaknya paket soal itu kami jadi semakin berat," kata Aryo.
Dalam kesempatan terpisah, Haikal, siswa SMAN 29 Jakarta, juga mengungkapkan hal serupa. Anehnya, menurut Haikal, lima paket soal akan menyulitkan para siswa, khususnya bagi yang suka mencontek.
Sementara itu, Sugiyatno, Staf Kurikulum SMAN 29 mengatakan, seandainya para siswa benar-benar siap menghadapi UN, berapapun banyaknya paket soal itu seharusnya tak dijadikan kendala.
"Itu bukan kendala, dengan catatan mereka siap menghadapi UN," kata Sugiyatno.
“Harus diakui, dulu memang menyontek ada. Tapi tidak parah. Tiap tahun makin ke sini, ternyata makin mengkhawatirkan. Cara siswa menyontek pun jadi lebih variatif,” kata Salmon Batuallo, kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Wilayah Kalimantan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), di Balikpapan, Kamis (14/4). Kehadirannya di Kota Minyak hari itu untuk menggelar dialog budaya dengan tajuk Peran Kebudayaan dalam Membangun Karakter Bangsa di Kaltim.
Pandanganannya itu pun disampaikan untuk mengingatkan lagi, agar pada pelaksanaan UN yang jatuh pada 18 April untuk SMA sederajat, para siswa bisa lebih berlaku adil.
UN tingkat SMA dan sederajat yang digelar Senin pekan depan itu akan diikuti 2.442.599 siswa dari 25.656 sekolah di Indonesia. Pengumuman kelulusan pada 16 Mei 2011.
Tahun ini, porsi penilaian akan mengikutkan nilai ujian sekolah. Rinciannya, nilai UN 60 persen, nilai sekolah 40 persen.
Salmon menjelaskan, saat ini karakter bangsa memang sudah terkikis. Buktinya, kata dia, banyak tindakan-tindakan –khususnya dilakukan generasi muda- yang tak menggambarkan karakteristik bangsa Indonesia. Padahal, zaman dulu, karakter yang dibangun oleh pendahulu memiliki nilai kemurnian, ketulusan hati, dan niat suci. “Tindakan menyontek saat ujian itu sudah tak sesuai dengan karakter kita. Tak hanya itu, zaman sekarang karakter Indonesia yang dulu mulai hilang. Terjadi seks bebas, pelajar menggunakan narkoba, menyontek, hingga tawuran,” terangnya.
Menurutnya, pelajar yang menyontek menunjukkan bahwa ingin cari mudah, tak inovatif, dan tak punya usaha positif. Karena itu, di sini dibutuhkan guru-guru yang punya karakter mendidik, untuk menanamkan karakteristik bangsa yang punya nilai luhur. “Sudah dikenal, karakter bangsa kita ini adalah kebersamaan, gotong royong, saling menghargai, dan sopan santun,” tuturnya.
Kecurangan saat ujian, tambah dia, tak serta merta langsung menyalahkan siswa. Kondisi ini, tentu juga dipicu faktor eksternal. Misalnya, tentang kecurangan yang dilakukan orang dewasa, seperti adanya pemimpin yang korup. “Siswa akhirnya mulai dengan cara mereka sendiri, karena ada tindakan negatif yang ditiru,” tuturnya.
Faktor yang juga ikut memengaruhi, yakni kurikulum yang memberikan ketentuan bahwa siswa harus mencapai target nilai sekian untuk lulus. Akhirnya, ada yang melakukan langkah curang untuk mencapai itu. Padahal, jelas dia, sebenarnya target-target seperti itu bertujuan positif, yakni memotivasi siswa untuk terus belajar.
Kemajuan teknologi juga ambil peranan. Karena, teknologi sebenarnya menyajikan dua sisi yang berlawanan; negatif dan positif. Sayangnya, bagi pelajar dan generasi muda, hal negatif dari teklonologi dan kemajuan informasi justru lebih menonjol.
Di tempat sama, saat memberi paparan, Sutaji, staf pengajar pascasarjan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda mengatakan, sejarah Indonesia sebenarnya sudah berisi penjelasan peristiwa yang isinya pesan-pesan moral untuk masa depan bangsa.
Pesan-pesan masa lalu yang mampu mendidik generasi akan datang untuk lebih memiliki karakteristik sebagai bangsa yang besar. “Kita ini bangsa yang berkarakter. Pengaruh buruk, umumnya datang secara natural, bisa juga karena faktor eksternal. Itu tentu bisa diubah,” katanya.
Lima Paket Soal Bikin Susah Nyontek
Para siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional (UN) pada April mendatang mengeluhkan aturan tentang lima paket soal UN tahun ini. Lima paket soal merupakan aturan baru tentang lima paket soal pada satu mata pelajaran yang sama yang akan dibagi secara acak berdasarkan nomor kursi atau nomor peserta UN.
"Lima paket soal itu misalnya A, B, C, D, dan E, dibagi secara acak berdasarkan nomor kursi atau nomor ujian", kata Leonardus Aryo, siswa SMAN 24 kepada Kompas.com, Senin (28/3/2011).
Para siswa mengatakan, lima paket soal tersebut sangat memberatkan mereka. Buat mereka, hal itu merupakan kendala yang paling terasa dalam menghadapi UN nanti.
"Dengan banyaknya paket soal itu kami jadi semakin berat," kata Aryo.
Dalam kesempatan terpisah, Haikal, siswa SMAN 29 Jakarta, juga mengungkapkan hal serupa. Anehnya, menurut Haikal, lima paket soal akan menyulitkan para siswa, khususnya bagi yang suka mencontek.
Sementara itu, Sugiyatno, Staf Kurikulum SMAN 29 mengatakan, seandainya para siswa benar-benar siap menghadapi UN, berapapun banyaknya paket soal itu seharusnya tak dijadikan kendala.
"Itu bukan kendala, dengan catatan mereka siap menghadapi UN," kata Sugiyatno.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar